Buddhism Bar

Perpustakaan buddhism.

Menjadi Buddha (Part 1): Menjadi Upasaka

Posted by Lord Bharadvaja pada November 28, 2009

Ada 8 kondisi dunia menutup hati makhluk:
1. Malang (alabha).
2. Beruntung (labha).
3. Pecundang (ayasa).
4. Terkenal (yasa).
5. Terhina (ninda).
6. Terpuji (pasamsa).
7. Susah (dukkha).
8. Senang (sukkha).

Untuk membuka hati seseorang harus:
1. Tak malang juga tak beruntung.
2. Tak pecundang juga bukan berkuasa.
3. Tak terhina juga tak terpuji.
4. Tak susah juga tak senang.

Kenapa begitu, karena jika tak maka ia sulit untuk bisa memahami ajaran kebenaran atau dharma dengan sempurna – seutuhnya – sepahamnya. Ia cuma akan menggunakan ajaran itu sebagai tempelan belaka, sebagai pelengkap kehidupan, dan ia akan beranggapan sudah bijak untuk berpikir “hidup saya sudah lengkap, karena saya sudah beragama” padahal belum, karena agama baru jalan, apa orang itu akan menggunakannya untuk melengkapi kesadarannya itu hal lain.

Jika ia masih berada dalam satu dari delapan kondisi dunia yang mengguncang itu, maka ia masih menempatkan pikirannya pada dunia daripada pada ajaram benar. Contoh, jika masih kaya maka ia tak terlalu mau untuk sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu hartanya. Contoh lain, jika ia sering susah maka ia tak bisa sepenuhnya melatih diri, karena kesadarannya masih punya ekspansi untuk terus hidup di dunia ini, yaitu niat untuk jadi benar dan bebas susah.

Pada prinsipnya, selama masih ada satu hal yang membuat seseorang perlu untuk tinggal di dunia, seperti anak, ilmu, kekasih, maka ia tak pernah bebas dari penderitaan dan disaat bersamaan ia masih belum dekat dengan ajaran yang benar. Ajaran yang benar adalah ajaran yang membebaskan makhluk dari penderitaan, bukan ajaran yang menimbun hal-hal baik untuk menutupi hal-hal buruk yang bersembunyi dilapis terdalam pikiran yaitu bawahsadar.

Karena itu:

– Jika seseorang beruntung, maka ia perlu keluar dari keberuntungannya.
Misal orang yang terlalu kaya, maka ia perlu mengurangi sedikit kekayaannya dengan banyak memberi hartanya pada yang membutuhkan. Ia harus terus melakukannya sampai ia tak merasa lagi bahwa ia kaya.
– Jika seseorang malang, maka ia perlu keluar dari kemalangannya.
Melalui media seperti buku-buku motivasi atau agama, ia perlu berusaha mendapatkan keberuntunganya, tapi sambil menunggu keberuntungannya datang, ia kembali menekuni ajaran yang benar, karena jika ia menunggu beruntung dulu, maka ia tetap harus mengurangi lagi keberuntungannya agar bisa kembali belajar. Perlunya seseorang menjadi beruntung adalah agar ia tak beralasan, “nanti saja, aku masih capek, aku masih miskin” dan perlunya seseorang menjadi tak beruntung adalah agar ia tak beralasan “nanti saja, biar kunikmati dunia dulu”.
Bisa kita simpulkan, orang yang bukan tak beruntung bukan pula tak beruntung (level 8 kesaktian meditasi) adalah orang malang yang sedang dalam masa belajar menjadi beruntung dan orang beruntung yang banyak memberi pada yang lain. Dua jenis orang inilah yang sudah mendapatkan Kosong dalam hal “bukan beruntung bukanpula tak beruntung”.

– Jika seseorang berkuasa, maka ia perlu keluar dari kekuasaannya.
Dengan cara mengangkat beberapa orang dan memberi jabatan-jabatan sehingga kekuasaannya terbagi-bagi ke orang lain.
Orang berkuasa cenderung memandang balasan adalah sesuatu yang pas untuk setiap kesalahan, orang tak berkuasa cenderung memandang balasan yang diatas pasti akan datang meski dirisendiri tak membalas. Jadi kekuasaan selalu diikuti oleh kekerasan, sekalipun yang berkuasa itu baik dan tak mungkar, ia tetap akan menindak kesalahan dengan kekerasan.
– Jika seseorang lahir atau besar sebagai pecundang maka ia perlu sedikit berkuasa, agar ia merasa berharga untuk mengerjakan sesuatu yang berharga seperti ajaran benar. Contoh seorang pelacur atau preman cenderung malas untuk berbuat baik dengan alasan, “ah aku sudah memang orang yang seperti ini, yang seperti itu bukan untukku” atau orang kecil yang malas membangun dayakritis terhadap keadaan karena “kita kan orang kecil”.

– Jika seseorang merasa terhina, maka ia perlu keluar dari kehinaannya.
Menurut pendapat saya, seseorang yang dihina padahal tak bersalah adalah karena auranya masih menyimpan perbuatan-perbuatan masalalu yang suka berbuat ricuh dan masih belum mendapat ganjarannya. Karena itu seseorang yang seperti itu perlu mulai membangun reputasi pikiran ucapan perbuatan baik agar tumbuh kepercayaan lingkungan pada dirinya, sehingga ia pun mudah untuk belajar dan mengajar ajaran yang benar. Jika tak, maka perkembangan mentalnya macet karena pandangan yang diyakini tak bisa diaplikasikannya karena kurang apresiasi dari masyarakat.
– Jika seseorang merasa terpuji, maka ia perlu keluar dari reputasinya.
Sudah sering kita dengar berbagai petuah orang bijak masalalu bahwa pujian itu perlu disikapi dengan tenang, jangan bergirang karena pujian, karena dalam pujian itu tak ada obyektifitas lagi, karena itu seseorang yang sedang dipuji tetap harus mengembalikan obyektifitas pikirannya, agar ia masih mampu untuk berkata benar. Jika tidak maka ia cuma berkata yang disenangi orang untuk dikatakan.

– Jika seseorang sedang susah, maka ia perlu keluar dari kesusahannya.
Orang yang masih suka pegal atau sakit saat duduk lama belum mampu untuk memasuki meditasi. Karena ada tingkat-tingkat meditasi yang mesyaratkan lepasnya sang meditator dari pengaruh-pengaruh lapisan fisik dan mental.
– Jika seseorang sedang senang, maka ia perlu keluar dari kesenangannya.
Orang yang hidup bermewah-mewahan, pikirannya adalah pikiran manja, bukan pikiran berdisiplin. Karena itu sering kita temukan orang yang malas sholat, mengaji, tapi lebih suka nonton TV kabel, meski ada segelintir mutiara di tengah-tengah lumpur. Orang-orang yang bangun dari ketaksadarannya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Inilah yang saya maksud jika senang perlu tak senang.

Singkat kata, dari seluruh uraian saya, orang yang hatinya terbuka adalah orang yang tak terkena polusi kesadaran yang berjumlah 8 itu. Orang seperti ini akan mampu meniti tangga-tangga pencerahan.

Baca tulisan selanjutnya:
Menjadi Buddha (Part 2): Menjadi Bhikkhu

Tinggalkan komentar